Gara-gara liat beberapa review film
adaptasi novel yang kebanyakan mengandung kalimat “filmnya nggak semenarik
novelnya”, saya jadi kepikiran terus sama pendapat tersebut.
Kenapa ya? Kenapa film adaptasi suka
nggak semenarik novelnya?
Umumnya saat sebuah novel difilmkan,
akan muncul pendapat bahwa film adaptasi tersebut pasti tidak akan semenarik
novelnya. Ya, (hampir) semua orang begitu. Sebut saja mulai dari Harry Potter,
Da Vinci Code, Life of Pi etc (untuk film asing), 5 cm, Perahu Kertas, Negeri 5
Menara, Laskar Pelangi (film lokal) dan masih banyak lagi. Hampir di setiap
review saya pasti menemukan kalimat “Filmnya memang tak semenarik novelnya”
atau “Sebaiknya anda baca novelnya dulu” dll.
Sebagai salah satu orang yang suka
menghabiskan waktu dengan baca buku dan novel (walau nggak rajin-rajin amat)
saya mulai mikir kenapa banyak orang (termasuk saya) beranggapan begitu. Para
pembuat film adaptasi pasti berusaha keras untuk membuat film tersebut
semenarik dan semirip mungkin dengan novelnya, akan tetapi, pasti akan ada saja
hal yang nggak bisa dibuat mirip. Pasti akan muncul komentar dari penikmat film
bahwa filmnya nggak semenarik novelnya Kalau saya pribadi sebelum menonton
mencoba untuk tidak berekspektasi tinggi : “Namanya juga film, pasti tidak
semenarik novelnya.” Menurut saya, penyebabnya pasti ada beberapa kemungkinan.
Durasi film tidak sebanding dengan cerita dalam novel yang
umumnya panjang, Banyak sekali cerita yang menarik di dalam novel yang membuat
kita semakin asyik membacanya. Sayangnya saat novel tersebut di-film-kan,
beberapa cerita yang menarik (dan menurut kita penting) tidak diceritakan di
dalam film (padahal mungkin penonton menunggu-nunggu lho). Mungkin ‘dihapusnya’
bagian cerita yang menarik tersebut dikarenakan susahnya merangkai visualisasi
yang pas karena keterbatasan alat atau waktu, jadi bagian tersebut dihilangkan.
Selain itu, saat membaca novel dari setiap pembaca muncul persepsi akan cerita
serta imajinasi mengenai sosok tokoh, latar, suasana tempat, dan kejadian.
Imajinasi memang tak ada batasnya, bahkan bisa menjadi ‘liar’ dan ekstrem. Saat
novel divisualisasi ke dalam film, kita diberikan other view point dengan penambahan dan pengurangan cerita. Mungkin
beberapa penggambaran dianggap kurang sesuai dengan imajinasi penonton, hingga
munculah ‘sugesti’ bahwa film tak seseru novelnya. Inilah tantangan yang biasanya
sulit dihadapi orang-orang film, memindahkan imaji penulis (dan pembaca) dalam
dunia realita. Memindahkan sebuah kisah novel ke atas
pita seluloid itu susah.
Kalau film diceritakan secara mendetil
seperti bukunya, mungkin durasi film bisa lebih dari 2.5 jam ya. Hehe. Oleh
karena itu para pembuat film sebisa mungkin meringkas cerita dan mengakali
supaya alurnya tidak tampak putus-putus. Bagian-bagian dari cerita dalam novel
layaknya ‘disortir’ mana yang masuk ke film, mana yang tidak. Sayangnya,
mungkin untuk beberapa film, penyortiran bagian cerita agak kurang pas, jadinya
segi alur, pemilihan tokoh, dan rangkaian cerita malah jadi bikin mumet dan
malah terkesan ‘melompat-lompat’. Soal ending
film pun kadang agak ‘maksa’ karena sulit juga mungkin ya membangun
visualisasi cerita yang lebih terlihat realis.
Bicara soal pemilihan tokoh, sebuah
film yang jelas menghabiskan dana yang besar dan waktu yang panjang untuk
perekrutan pemeran. Cuma, sekali lagi, selera penonton berbeda-beda. Hehe.
Saya pernah denger komentar salah satu teman saya “Huh males deh nonton film H&A
abisan pemerannya kenapa harus BCL sih?” atau waktu jamannya film AAC, kenapa
pemeran Aisha harus RC? Mungkin di mata beberapa kalangan aktor/aktris tertentu
kurang cocok memerankan karakter tokoh tertentu di suatu film. Imajinasi
tentang sosok tokoh pun hilang begitu lihat aktor/aktris pemerannya di film.
Dan, kalau aktor/aktris tsb. kurang pembawaan perannya / penggambarannya
kurang sesuai sama novelnya (mis. Bella Swan di Twilight, di film beda sama
novelnya), karakter tokoh di filmnya jadi kurang kuat, mengurangi greget cerita
. :p
Di samping semua opini diatas, sebenarnya
memang nggak mungkin suatu film bisa memuaskan di mata semua penontonnya, karena
setiap orang punya selera sendiri-sendiri. Meskipun begitu, saya salut sama
para pembuat film adaptasi (terutama buatan Indonesia) yang berusaha keras
membuat film berkualitas sehingga menarik banyak peminat untuk menikmati jalan
ceritanya. Saya pribadi sih tetep semangat nontonnya. Hehe. Bagi saya, membaca
novel sekaligus menonton filmnya adalah dua hal yang sangat menarik (terlepas
dari sesuai atau tidaknya film dengan novel, terlepas dari anggapan menonton
film hanya akan mengurangi esensi cerita dalam novel).