Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Saya suka melakukan hal-hal yang menurut saya menarik dan orang-orang sulit melakukannya :) Saya suka bercerita tentang apa yang terjadi hari ini dan mendengarkan cerita teman-teman tentang betapa rumitnya hidup :P Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang saya sayangi :* Sangat susah bagi saya untuk memilih, meskipun saya sudah menentukan prioritas. Seorang sanguinis- koleris yang perfeksionis namun berusaha untuk tidak terlalu idealis. Haha.

Selasa, 05 Maret 2013

Keluarga Kecil Karina



Karina terbangun dari tidurnya, matanya terbelalak melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Sambil bergegas ke kamar mandi, Karina sibuk meruntuki diri sendiri mengapa dia selalu dengan mudahnya tertidur sehabis shalat subuh. Tiba-tiba dia berhenti tepat di depan pintu kamar mandi, tersadar..

Eh, tunggu dulu. Aku mau kemana ya? Aku kan udah berhenti kerja....

Baru seminggu resign rasanya Karina kangen sekali sama suasana kantor. Ingin kerja lagi, ingin ketemu teman-teman lagi. Ingin ngerasain meeting lagi, menghabiskan jam istirahat di Coffee Club favoritnya, pulang kantor seminggu sekali shopping di Ciwalk atau PVJ bareng Nanda, Utari, dan Kinar, sahabat-sahabatnya yang sama-sama wanita karir.

Yah sekarang udah nggak bisa. Aku sekarang kan 100% ibu rumah tangga, ngurus anak sama suami. Padahal kalau mereka pergi, aku nggak ada kegiatan juga. Sepi. Kapan ya aku bisa kerja lagi?

Berhenti bekerja memang pilihan yang dilematis untuk Karina. Meskipun akhirnya dia memutuskan bahwa mengurus Didit yang sedang usia playgroup itu jauh lebih penting, rasanya ada yang hilang setelah berhenti kerja. Saking belum terbiasa ada di rumah, Karina sering lupa kalau udah resign. Dia jadi sering melamun dan mengeluh kesepian. Meskipun hari-harinya mulai dibiasakan lagi untuk sibuk dengan urusan Didit dan Mas Dika, tetap saja saat mereka berdua di luar rumah Karina merasa sepi sendiri, stress sendiri. Adiknya, Asti, yang masih kuliah tingkat akhir pasti akan meledeknya sebagai “wanita galau”. Uuh..

Karina tersadar dari lamunannya, sekaligus tersadar kalau rumah sepi sekali. Ditengoknya kamar Didit, kosong. Mas Dika pun nggak ada di mana-mana. Di dapur, kamar mandi, ruang TV, mereka nggak ada. Apa mereka pergi ke luar? Akhirnya sambil agak panik Karina kembali ke kamar karena mendengar handphone­-nya berbunyi. Telepon dari Mas Dika.

“Assalamualaikum, Mas? Mas sama Didit di mana?” 

Hehehe..hehe..Ibu sayang selamat ulang tahun ya ibu.Hehehe.” Bukannya suara Mas Dika, malah suara Didit diselingi ketawa cekikikannya yang lucu yang terdengar di seberang sana.

Karin tertegun. Aku? Ulang tahun?

Ibu, Yangti bilang Ibu ngga kerja karena mau nemenin Didit. Hehehehe..
Makasih ya ibu baik banget
Semoga Didit bisa cium peluk ibu tiap hari. Hehehehe..
Kado Didit sama Ayah ada di sini, cari ya Bu
Hehehehehe...
Didit sayang Ibu. dadah muaah”

Klik. Telepon di putus.

Belum habis rasa surprised karena telepon Didit tadi, pandangan Karina teralih ke meja di samping tempat tidur, ternyata ada surat tulisan tangan yang tadi luput dari pandangannya.

Hey Ibunya Didit,

Kamu inget kan ya sekarang tanggal berapa? 5 Maret. Dan sekarang ulang tahun kamu yang ke 28. Udah 4 tahun kita nikah, dan ternyata Ibunya Didit ini semakin cantik, semakin shalehah, semakin keibuan, dan Ayahnya Didit ini semakin cinta. Hehe.. unyuuu banget yah kalau kata anak muda :3

Mas nggak ngantor ah hari ini, hehe, bandel ya. Mas mau sama kamu, sama Didit, jarang-jarang kita di rumah bertiga selain weekend. Semoga di hari ulang tahun kamu ini impian kamu untuk jadi ibu yang the best buat Didit dan istri yang the best buat Mas dimudahkan prosesnya sama Allah SWT. I wanna be the best for you and Didit too, honey. I believe that you are the best thing that’s ever been mine.

Love,
Ayahnya Didit

Ps: Kita ngumpet sambil main di garasi. Didit pengen kamu nyari kita. Ssst.. jangan bilang Didit aku bocorin tempat ngumpetnya yaa..


Karina sadar, selain tawa kecil dan senyum yang merekah di bibirnya, ada air mata yang mulai menggenang dan mengalir dari sudut matanya. Terharu. Dan detik itu Karina semakin yakin keputusannya tepat dan mantap. Saat ini dia bukan ingin mengejar ambisi karir, tapi jadi 100% ibu rumah tangga, mendidik Didit supaya jadi anak yang pintar, shaleh, dan berbakti sama orang tua, plus mengurus suami yang sangat ia cintai, Mas Dika.

Karina nggak mau kehilangan momen berharga keluarga kecil mereka, apa lagi melihat tumbuh kembang Didit yang selama 2 tahun ini sempat Karina lewatkan. Karina janji, dia akan menjadi tempat pulang yang paling dirindukan dan paling indah untuk kedua jagoannya itu. Karina tak perlu pikirkan meeting, arisan, kerjaan kantor, shopping sepulang kerja, dan happy-happy di Coffee Club. Karina bersyukur memiliki keluarga kecilnya.

Karina pun berlari kecil ke garasi dengan senyum cerah dan  mata yang basah :)

Senin, 04 Maret 2013

Untuk Dinda



Gadis cilik hitam manis itu Dinda Halifah namanya. Senyumnya ceria, meskipun tulang punggungnya tak lagi sempurna. Lima bulan lalu dokter mendiagnosisnya dengan kelainan skoliosis, yaitu kelainan bentuk tulang belakang yang ditandai melengkungnya tulang belakang ke arah samping. Pada saat itu keadaan tulang belakang Dinda hanya menonjol biasa. Semakin hari seiring dengan makin padatnya aktivitas, bengkoknya tulang punggung pun semakin terlihat. Dalam waktu lima bulan skoliosisnya menjadi 90 derajat dan dokter akhirnya menyarankan untuk operasi.

Dinda adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ia sosok yang periang dan memiliki banyak teman. Gadis kelas 5 SD ini tergolong aktif di lingkungan sekolahnya dengan beberapa kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, drumband, dan basket.Dinda dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya yang berusia 64 tahun berprofesi sebagai penjahit. Ibunya membuka warung kecil di depan rumah dan membuat gorengan untuk dititipkan ke warung-warung terdekat. Biaya operasi koreksi skoliosis yang berkisar 100-160 juta rupiah per operasi tentu membuat kedua orang tua Dinda gundah. Apalagi usia Dinda baru 11 tahun, dimana hal itu berarti ia harus menjalani lebih dari satu kali operasi. Operasi pertama untuk memasang pen sementara. Seiring dengan perkembangan tulang belakang Dinda yang masih mengalami pertumbuhan, akan diperlukan operasi lanjutan ketika usianya sudah lebih matang untuk pemasangan pen permanen.

Selama ini orang tua Dinda menggunakan jamkesmas untuk rawat jalannya. Saat ini sedang dalam proses pembuatan jamkesmas baru untuk proses operasi yang akan dilakukan, dengan nasib jamkesmas yang belum diketahui kepastiannya. Kalaupun jamkesmas akhirnya didapat, bukan berarti orang tua Dinda dapat bernafas lega karena masih ada biaya-biaya obat yang tidak ditanggung oleh jamkesmas, yang tentu tak sedikit jumlahnya.
Jika ada teman-teman yang berkenan memberi bantuan, donasi untuk Dinda dapat disalurkan melalui Masyarakat Skoliosis Indonesia cabang Jawa Barat.
CP: Raden Assifa Rahmah (Ketua MSI Jawa Barat)
No rekening: Bank Syariah Mandiri 7044030308
No HP: 085221403030
*Mohon untuk mengirimkan sms setelah transfer untuk kemudahan rekapitulasi donasi yang terkumpul*

DATA DINDA
Nama : Dinda Halifah (Dinda)
Tanggal lahir : 19 Juli 2001
Asal : Garut
Kelainan yang diderita : Skoliosis area thorakal
Dampak apabila tidak ditangani : Fisiologi jantung dan paru-paru dapat terganggu karena ruangnya terdesak oleh tulang yang membengkok, hilang keseimbangan tubuh, gangguan syaraf, dll.
Kendala : Keluarga berasal dari orang tua yang kurang mampu (penjahit dan berjualan warung kecil di depan rumah)

 punggung dinda

keluarga dinda dan warungnya

Jon dan Sepasang Manusia



“Mas, iga bakar penyet satu, sop iga satu, jus strawberry satu, es cokelat satu ya..” 

Jon mengiyakan perkataan perempuan di depannya. Jon masuk ke dapur sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah perempuan tadi. Perempuan manis itu duduk di meja nomor 12. Ah, lagi-lagi nomor 12. Di hadapan perempuan itu duduk seorang laki-laki. Laki-laki itu lagi, selalu laki-laki yang sama. 

Perempuan manis dengan lesung pipi. Jon tak mengenalnya. Tapi boleh jadi Jon akrab dengannya. Minimal Jon bertemu dia seminggu dua atau tiga kali setiap menjelang malam. Minimal Jon tahu menu favorit dia apa, sop iga dan jus strawberry. Sementara si laki-laki beruntung yang selalu bersamanya selalu pesan iga bakar penyet, apapun minumannya. 

“Mbak, Mas, ini pesanannya, selamat menikmati.”

Senyum mereka dan kata “Terima Kasih” yang terucap membuat senyum terbaik yang Jon siapkan terbalas indah. Jon suka binar mata mereka saat berbicara satu sama lain, hangat dan akrab. Setelah mengantar makanan, waktu Jon habiskan di depan kasir hanya untuk memandangi mereka bercengkrama.

Kalau boleh dibilang, Jon jatuh cinta. Bukan, bukan pada si perempuan manis, apalagi pada laki-laki kharismatik yang selalu bersamanya, Jon masih normal. Jon jatuh cinta pada mereka, jatuh cinta akan kebersamaan mereka. Jon sangat suka melihat mereka berdua bersama. Perempuan manis dan laki-laki kharismatik, terlihat serasi. Dua manusia yang menghiasi malam dengan senyum, dengan kejutan, dengan obrolan tentang mimpi dan masa depan. Dua manusia yang binar matanya terang, menghabiskan waktu dengan canda, akrab dan tentram. Semoga selalu seperti itu, semoga memang jodoh, begitu doa tulus Jon. Buat Jon, mereka pasangan favoritnya. Melebihi Anang dan Ashanty, bahkan David Beckham dan Victoria Beckham!

Demi Pesan Terakhir Ibu


Di sinilah aku duduk sekarang. Kantor yang terasa asing dengan hembusan kencang AC. Dingin. Sedingin tanganku mungkin, atau lebih dingin. Jantungku berdegup keras dan cepat. Aku menggigit-gigit bibir, ragu, nervous, campur aduk.

“Mbak Ratri,”

“Ya..”

“Mbak ditunggu Bapak di dalam. Silakan masuk Mbak, lewat sini.”

Aku berjalan menyusuri lorong menuju ruangan Pak Rahmat Harsodjo. Ruangannya terletak di pojok lorong, sunyi, sepi. Pintu dengan gantungan tulisan namanya malah membuatku ciut untuk mengetuk meminta masuk. Aku tergugu di depan pintu. Kalut, gamang.

“Ratri, kenapa diam? Masuklah.” Terdengar suara dari dalam, seakan tahu aku yang ada di luar.

Dengan berat aku melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Isinya sudah ku duga, sama sekali tidak ingin kulihat. Foto keluarga ukuran besar terpasang di dinding, foto lainnya di meja pojok ruangan, di meja kerja. Aku yakin foto-foto itu usianya tak lebih dari lima belas tahun. Kalau lebih dari itu harusnya di foto itu ada wajah yang akrab di mataku, wajah yang aku rindukan.

“Waktu berjalan begitu cepat Ratri. Dua puluh delapan tahun umurmu, lima belas tahun aku pergi, dan aku terlambat kembali. Tapi seperti yang kita bicarakan di pemakaman kemarin, rencana ini akan tetap berjalan. Maafku tulus, Ratri. Aku menyayangimu. Aku meminta maaf karena selama ini aku tak ada untukmu. Izinkan aku menebusnya selama sisa hidupku.”

Aku menyayangimu, dan ibu jauh lebih menyayangimu. Aku tahu maafmu tulus, tapi sesungguhnya luka ini belum kering.

“Kamu tahu, aku tidak mungkin meminta Ken. “

Tentu saja aku tahu, karena Ken anakmu dari Astrid masih 13 tahun umurnya.

“Kamu lah yang aku banggakan, Ratri. Aku mau kamu, kamu yang mempimpin perusahaan ini. Kamu cantik, cerdas. Kamu kuat. Kamu unggul, Ratri. Maya, ibumu, mendidikmu dengan sempurna.”

Sempurna? Lalu kenapa kau tinggalkan?

“Ayahmu ini sudah tua, Ratri. Aku bahagia kamu mau kembali, aku bahagia kamu masih peduli pada ayahmu yang payah ini.”

Aku, Ratri Harsodjo, kembali bukan karena kau, Ayah, meski aku menyayangimu. Bukan karena kau tapi demi pesan terakhir almarhumah Ibu, yang memintaku untuk memaafkan Ayah dan mau hidup bersama keluarga baru Ayah, tante Astrid dan Ken. Sejujurnya aku mengorbankan perasaanku.

Minggu depan, saat aku mulai menempati ruangan ini, barang-barang yang akan aku singkirkan pertama kali adalah foto keluarga baru Ayah. Semuanya.