Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Saya suka melakukan hal-hal yang menurut saya menarik dan orang-orang sulit melakukannya :) Saya suka bercerita tentang apa yang terjadi hari ini dan mendengarkan cerita teman-teman tentang betapa rumitnya hidup :P Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang saya sayangi :* Sangat susah bagi saya untuk memilih, meskipun saya sudah menentukan prioritas. Seorang sanguinis- koleris yang perfeksionis namun berusaha untuk tidak terlalu idealis. Haha.

Jumat, 30 November 2012

Jendela yang Terbuka

“Oper ke sini bolanya, Man!” Teriak Adi kepada Iman. Mereka sedang bermain bola di lapangan kelurahan. Tim mereka, tim 5B sedang latihan tanding dengan anak SD sebelah. Iman dengan gesit menggiring bola ke arah Adi. Kakinya mengocek bola dengan lincah menghindari lawan. Ketika berhadapan dengan Tono si tubuh gempal, Iman kewalahan. Tanpa sadar, ia bukannya fokus mengoper bola pada Adi. Bola malah ia tendang jauh. Tak jelas arah tujuannya. Melewati tembok pembatas, sukses masuk halaman rumah Pak Sastro.

“Ah, kamu, Man. Masuk ke rumah hantu kan bolanya. Ambil sana!” Ujar Adi pada Iman. Permainan dihentikan karena mereka tak punya bola cadangan. Sementara di antara mereka tak ada yang punya nyali untuk masuk ke rumah Pak Sastro, yang sering mereka sebut rumah hantu. Maklum, rumah besar berwarna abu-abu itu misterius dan jarang sekali terlihat penghuninya. Iman menatap tembok pembatas lapangan dengan rumah Pak Sastro, juga bangunan besar di baliknya yang hampir membuat ciut nyalinya. Tapi mau tak mau, dari pada permainan selesai, ia harus berani.

***

Seorang anak laki-laki kulihat mencoba memanjat pagar. Aku tak mengenalnya. Tapi dari tampangnya yang keling dan kusam, aku yakin ia pasti bau matahari. Ia pasti salah satu anak yang bermain bola di lapangan sebelah. Dari jendela kamarku, aku sedikit menengok ke bawah, ke halaman rumah. Benar saja, bolanya ada di sana. Di dekat kandang Peter, anjing kesayangan Papa. Oh, Peter galak sekali pada orang asing. 

“Mbak Asih! Mbak Asih!” Aku berteriak memanggil Mbak Asih. Tak lama kemudian Mbak Asih tergopoh-gopoh masuk ke kamarku.

“Ada orang asing di depan, anak laki-laki. Kayaknya mau ambil bola di deket kandang Peter.” Kataku dengan cepat.

“Terus Den?” Mbak Asih kebingungan dengan perkataanku.

“Ya pokoknya, bolanya dilemparkan saja ke luar, jangan sampai dia masuk. Nanti dia digigit Peter.” Aku membalikkan badan, kembali menuju jendela. 

***

“Hap!!” Aku berhasil melompati pagar rumah Pak Sastro. Sepi sekali, nampak tak ada penghuninya. Kata ibuku, Pak Sastro berbisnis di luar negeri setelah ditinggal mati istrinya empat tahun lalu. Ibu bilang Pak Sastro punya anak laki-laki. Tapi aku tidak pernah melihatnya, mungkin ia ikut dengan Pak Sastro.

Mataku tertuju pada bola sepak di dekat kandang anjing. Oke, kandang itu ada isinya. Anjing besar. Seekor Rottweiler besar sedang tidur di dalamnya. Aku takut, sih. Tapi kalau aku pulang tanpa bola, nanti aku diejek Adi dan kawan-kawan yang lain. Maka aku beranikan diri berjalan ke arah kandang anjing itu. Anjing itu melihatku dan menyeringai, memperlihatkan giginya yang tajam. Tampaknya dia tidak bersahabat dengan orang asing.

“Guukk!! Guuk!! Guukkkkk!!!” Oh tidak, ia berlari ke arahku!

***

Aku mengamati dari jendela, anak itu sudah terlanjur masuk halaman rumah.  Ia berjalan mendekati bolanya, Peter melihatnya dan menggonggong ke arahnya. Anak itu tampak ketakutan, dia pasti takut digigit. Aku harus mengalihkan perhatian Peter dari anak itu.

“Peteer!!! Peteeeerr!!!!” Teriakku dari dalam kamar, lewat jendela yang kubuka dengan sengaja.

***

““Peteer!!! Peteeeerr!!!!”

Suara teriakan anak laki-laki mengagetkanku, juga anjing besar dihadapanku. Anjing itu kemudian masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang sedikit terbuka. Aku menegadahkan kepala, ke arah  datangnya suara itu. Kulihat salah satu jendela, jendela kamar, terbuka. Ada anak laki-laki disana, sedang melihat ke arahku. Anak laki-laki? Anaknya Pak Sastro? Ah, tapi masa baru kulihat sekarang. Kami bertatapan sebentar, kemudian anak laki-laki itu menutup jendelanya. Aku bingung.

***

“Kamu mau ambil bola ya?”  Suara Mbak Asih mengagetkan Iman yang masih menegadahkan kepalanya ke atas, ke sebuah jendela yang tadinya terbuka.

“Eh, iya, maaf Bu. Saya Iman, saya kira rumahnya kosong. Saya mau ambil bola.”

“Ya sudah, ambil bolanya. Lain kali jangan panjat pagar ya. Peter itu galak, dia kurang ramah sama orang yang tidak dia kenal.”

“Terima kasih ya Bu,“ Iman berlari ke arah bolanya. Sambil mendekap bola, ia berlari ke arah pagar. Tapi kemudian Iman berhenti dan membalikkan tubuhnya. 

“Bu, Ibu yang punya rumah ini ya, Bu?” Tanya Iman kepada Mbak Asih, yang ditanya hanya tersenyum sambil menjawab, “Bukan, saya Asih, pengasuhnya Doni.”

***

Doni? Aku tidak pernah mendengar namanya. Apa yang dimaksud Mbak Asih itu anak laki-laki yang tadi kulihat ya. Sambil berjalan meninggalkan rumah Pak Sastro sesekali aku menoleh ke arah jendela lantai dua rumahnya. Jendela itu kembali terbuka, tapi anak laki-laki itu tidak terlihat lagi.

***

“Ah bohong kamu, Man. Mana, kok aku nggak lihat.” Ujar Adi pada Iman, yang diamini oleh teman-temannya yang lain. Pasalnya Iman baru saja cerita, ia melihat seorang anak laki-laki mengintip mereka , yang sedang bermain bola, dari jendela lantai dua rumah Pak Sastro yang terbuka.

“Nggak kok, aku nggak bohong. Aku lihat sendiri. Ia melihat kita dari jendela itu. Anak yang aku ceritakan itu lho. Namanya Doni.” Ujar Iman membela diri.

“Ya tapi kalaupun benar anak itu tinggal di rumah Pak Sastro, dia anak Pak Sastro dong berarti? Huh, sombongnya, mentang-mentang anak orang kaya, nggak mau main sama kita-kita. Kamu sendiri cerita kan, pas kamu ambil bola ke rumah dia, dia bahkan nggak turun nyamperin kamu, malah lihat dari jendela terus jendelanya ditutup. Huh Sombong!” Tono mendengus sebal, lagi-lagi diamini teman-teman yang lain.

Iman terdiam. 

***

Aku mengintip dari balik pohon mangga besar di depan lapangan bola kelurahan. Di sana, di depan pagar rumah Pak Sastro, Mbak Asih sedang duduk menunggu pesanan bakso Pak Mamat yang enak itu. Pak Mamat sendiri sedang sibuk meracik bahan dan bumbu bakso ke dalam mangkok.

“Mbak Asih...” Aku menghampiri Mbak Asih. Mbak Asih cukup terkejut melihatku. Mungkin karena baru kali ini aku datang dan menyapanya.

“Eh, kamu Iman ya? Beli bakso, Man?” Aku mengangguk.

“ Doni mana Mbak?” Tanyaku sambil berusaha menengok ke dalam. Eh, aku melihat sosok Doni sedang duduk diam di teras, tapi kok...

“Kamu kenapa kok tumben nanya Doni?” Aku mengalihkan pandangan dari halaman rumah Pak Sastro, Mbak Asih menatapku dengan penasaran. Aku pun mengutarakan niatku.

Malam sebelumnya aku mengobrol dengan Ibu. Aku bertanya mengapa rumah Pak Sastro dibiarkan kosong. Ibu bilang, sebenarnya rumah itu tidak kosong. Rumah itu ada yang menjaga, yaitu Mbak Asih. Orang-orang tidak terlalu peduli dengan rumah itu dan penghuninya. Karena belum lama rumah itu dibeli Pak Sastro, Pak Sastro ditinggal mati istrinya karena kecelakaan, beberapa waktu kemudian Pak Sastro langsung pergi ke luar negeri, sehingga tetangga pun tidak akrab dengannya.

“Kenapa sih Mbak, Doni nggak pernah main ke luar? Terus, mukanya kenapa selalu kelihatan murung? Doni sering melamun ya?” 

Ditanya begitu, Mbak Asih kikuk menjawab apa, “Ya, dia hanya nggak punya keinginan main ke luar, Man. Dia murung karena ingat terus sama ibunya, kangen sama ayahnya. Tapi Pak Sastro memang sibuk, jadi beliau jarang pulang.”

“Masa sih nggak ingin main di luar? Ayo dong Mbak, cerita saja. Aku janji, rahasia kok. Aku ingin main sama Doni.” Ujarku dengan tampang memelas, tapi aku sungguh-sungguh ingin berkenalan dengan Doni, aku yakin dia bukan anak yang sombong. Melihat sorot matanya, aku rasa dia kesepian.

Mbak Asih nampaknya akhirnya pasrah dengan bujukanku. Lagi pula, dia pasti tidak tega Doni bermain sendiri terus. Dari Mbak Asih, aku tahu bahwa istri Pak Sastro meninggal karena kecelakaan, saat itu mereka bertiga sedang berlibur merayakan ulang tahun Doni yang ke 7. Mobil yang mereka tumpangi ditabrak truk pembawa paket di tol Jagorawi, istri Pak Satro meninggal di tempat, beruntunglah Pak Sastro dan Doni selamat. Sejak itulah Doni murung dan menutup diri. 

“Terus, Doni sekolahnya di mana Mbak Asih? Nggak pernah main di luar, tapi kok aku nggak pernah lihat dia pergi sekolah?”

Mbak Asih kaget atas pertanyaanku, dengan cepat ia menjawab bahwa Doni homeschooling. Bertepatan dengan itu, Pak Mamat menyerahkan dua mangkuk bakso pesanan Mbak Asih, “Man, Mbak buru-buru, Doni harus makan, ngobrolnya nanti lagi ya.”, Mbak Asih terburu-buru masuk  ke dalam rumah.

Aku menegadahkan kepala, ke arah jendela yang terbuka. Kulihat Doni sedang menatapku. Aku melambaikan tangan dan berteriak “Hai Doni! Aku Iman.” Ia tersenyum, kemudian jendela lagi-lagi ditutup, meninggalkan aku yang termangu memikirkan suatu cara. Cara untuk mengajak Doni bermain.

***
Ting tong..

Mbak Asih sedang ke pasar. Mau tak mau aku lah yang harus membuka pintu. Huh. Lagi pula siapa sih yang bertamu hari Minggu pagi begini.

Aku memutar kursi rodaku ke arah pintu. Kuputar kunci dan knopnya. Olala! Di depanku sekarang berdiri seorang anak laki-laki sebaya denganku dengan tas kresek besar berisi buku cerita, mobil-mobilan, play station, dan entah, sepertinya masih banyak lagi. 

***

Iman cengar-cengir saat yang punya rumah membukakan pintu. Ada rasa simpati saat ia melihat Doni dengan kondisinya sekarang. Benar dugaannya, Doni tidak pernah keluar rumah karena lumpuh akibat kecelakaan empat tahun lalu sehingga harus memakai kursi roda. Jelas saja Doni homeschooling dan tidak pernah main dengan teman-temannya yang lain, mungkin Doni malu. Karena itulah ia sengaja membawa mainan-mainannya ke rumah Doni. Supaya Doni punya teman. Lagi pula dari cerita Mbak Asih tempo hari, Doni anak yang baik, sayangnya dia tertutup karena kesepian.

“Hei Don, terima kasih ya sudah menyelamatkan aku dari Peter kemarin hari. Aku bawa mainan banyak nih. Main bareng yuk!”

Senyum Doni pun terkembang.

Senin, 05 November 2012

Bagaimana jika kamu jadi dirinya, di posisinya?

Awalnya tingkahnya hanya membuat aku pusing. Dari kabar burung (ehem, maksudnya bisik-bisik orang, omongan-omongan orang) yang didengar, seperti seolah-olah memang sengaja disampaikan ke telingaku, bikin aku tak habis pikir. Maunya apa? Maunya gimana? Tujuannya apa? Kalau aku ikuti keegoisanku, mungkin sudah marah.......errrrr..

"Jangan Nona, jangan...", begitu kata suara bisikan di telingaku

Ya, kalau pakai emosi, aku akan menghancurkan semuanya. Semua yang sudah aku inginkan berjalan rapi. Semua tekad, semua semangat, semuanya akan hancur kalau aku egois. Tuhan, aku tidak mau meledak. Kalau aku ikuti keegoisanku, mungkin aku sudah benci. Tapi  ingat, benci itu nggak akan mengubah semuanya jadi baik dan sesuai keinginan. Benci hanya mengubah perangai kita, jadi semakin buruk. Aww....

Kemudian aku belajar. Memposisikan diri, jadi dirinya, di posisinya. Ya, bagaimana jika kamu jadi dirinya Dys, di posisinya?

Kalau aku jadi dia, aku pasti akan berlaku sama. Segala usaha, segala pengorbanan, akan aku lakukan agar yang aku inginkan bisa aku dapatkan. Benarkah? Ya, kalau aku jadi dia, aku pun tak akan lihat siapa rivalnya. Asal aku yakin aku bisa, meski harus mengusik dalam diam, mungkin tetap aku lakukan. Aku tak akan menyerah, aku tak mau kalah.

Kalau aku jadi dia. Aku akan berdoa, semoga Tuhan memutarbalikkan keadaan sekarang. Aku akan tunjukkan siapa yang terbaik. Aku tidak akan menyerang, aku juga tidak akan tertawa kalau rivalku 'hancur' atau merasa tersulut kelakuanku, mungkin aku hanya sedikit bersyukur. Tapi, kalau aku jadi dia pun, aku pun akan menangis kalau semuanya sudah terlalu sakit. Eh, sakit?


Jadi?
Apa yang mau dikhawatirkan?
Aku pikir tidak ada yang perlu dipikirkan
Karena aku masih teguh pada apa yang aku yakini, aku percaya
Dan kalau semuanya terlanjur lewat
Aku tinggal memposisikan diri seakan-akan aku adalah dirinya
Nona, kita sama-sama perempuan :)