“Oper ke sini bolanya, Man!”
Teriak Adi kepada Iman. Mereka sedang bermain bola di lapangan kelurahan. Tim
mereka, tim 5B sedang latihan tanding dengan anak SD sebelah. Iman dengan gesit
menggiring bola ke arah Adi. Kakinya mengocek bola dengan lincah menghindari
lawan. Ketika berhadapan dengan Tono si tubuh gempal, Iman kewalahan. Tanpa
sadar, ia bukannya fokus mengoper bola pada Adi. Bola malah ia tendang jauh.
Tak jelas arah tujuannya. Melewati tembok pembatas, sukses masuk halaman rumah
Pak Sastro.
“Ah, kamu, Man. Masuk ke rumah
hantu kan bolanya. Ambil sana!” Ujar
Adi pada Iman. Permainan dihentikan karena mereka tak punya bola cadangan.
Sementara di antara mereka tak ada yang punya nyali untuk masuk ke rumah Pak
Sastro, yang sering mereka sebut rumah hantu. Maklum, rumah besar berwarna
abu-abu itu misterius dan jarang sekali terlihat penghuninya. Iman menatap
tembok pembatas lapangan dengan rumah Pak Sastro, juga bangunan besar di baliknya
yang hampir membuat ciut nyalinya. Tapi mau tak mau, dari pada permainan
selesai, ia harus berani.
***
Seorang anak laki-laki kulihat
mencoba memanjat pagar. Aku tak mengenalnya. Tapi dari tampangnya yang keling
dan kusam, aku yakin ia pasti bau matahari. Ia pasti salah satu anak yang
bermain bola di lapangan sebelah. Dari jendela kamarku, aku sedikit menengok ke
bawah, ke halaman rumah. Benar saja, bolanya ada di sana. Di dekat kandang
Peter, anjing kesayangan Papa. Oh, Peter galak sekali pada orang asing.
“Mbak Asih! Mbak Asih!” Aku
berteriak memanggil Mbak Asih. Tak lama kemudian Mbak Asih tergopoh-gopoh masuk
ke kamarku.
“Ada orang asing di depan, anak
laki-laki. Kayaknya mau ambil bola di deket kandang Peter.” Kataku dengan
cepat.
“Terus Den?” Mbak Asih
kebingungan dengan perkataanku.
“Ya pokoknya, bolanya dilemparkan
saja ke luar, jangan sampai dia masuk. Nanti dia digigit Peter.” Aku
membalikkan badan, kembali menuju jendela.
***
“Hap!!” Aku berhasil melompati
pagar rumah Pak Sastro. Sepi sekali, nampak tak ada penghuninya. Kata ibuku,
Pak Sastro berbisnis di luar negeri setelah ditinggal mati istrinya empat tahun
lalu. Ibu bilang Pak Sastro punya anak laki-laki. Tapi aku tidak pernah
melihatnya, mungkin ia ikut dengan Pak Sastro.
Mataku tertuju pada bola sepak di
dekat kandang anjing. Oke, kandang itu ada isinya. Anjing besar. Seekor Rottweiler besar sedang tidur di dalamnya. Aku takut, sih. Tapi kalau
aku pulang tanpa bola, nanti aku diejek Adi dan kawan-kawan yang lain. Maka aku
beranikan diri berjalan ke arah kandang anjing itu. Anjing itu melihatku dan
menyeringai, memperlihatkan giginya yang tajam. Tampaknya dia tidak bersahabat
dengan orang asing.
“Guukk!! Guuk!!
Guukkkkk!!!” Oh tidak, ia berlari ke arahku!
***
Aku mengamati dari jendela, anak itu
sudah terlanjur masuk halaman rumah. Ia
berjalan mendekati bolanya, Peter melihatnya dan menggonggong ke arahnya. Anak
itu tampak ketakutan, dia pasti takut digigit. Aku harus mengalihkan perhatian
Peter dari anak itu.
“Peteer!!! Peteeeerr!!!!”
Teriakku dari dalam kamar, lewat jendela yang kubuka dengan sengaja.
***
““Peteer!!! Peteeeerr!!!!”
Suara teriakan anak laki-laki
mengagetkanku, juga anjing besar dihadapanku. Anjing itu kemudian masuk ke
dalam rumah melalui pintu garasi yang sedikit terbuka. Aku menegadahkan kepala,
ke arah datangnya suara itu. Kulihat
salah satu jendela, jendela kamar, terbuka. Ada anak laki-laki disana, sedang
melihat ke arahku. Anak laki-laki? Anaknya Pak Sastro? Ah, tapi masa baru
kulihat sekarang. Kami bertatapan sebentar, kemudian anak laki-laki itu menutup
jendelanya. Aku bingung.
***
“Kamu mau ambil bola ya?” Suara Mbak Asih mengagetkan Iman yang masih
menegadahkan kepalanya ke atas, ke sebuah jendela yang tadinya terbuka.
“Eh, iya, maaf Bu. Saya Iman,
saya kira rumahnya kosong. Saya mau ambil bola.”
“Ya sudah, ambil bolanya. Lain
kali jangan panjat pagar ya. Peter itu galak, dia kurang ramah sama orang yang
tidak dia kenal.”
“Terima kasih ya Bu,“ Iman
berlari ke arah bolanya. Sambil mendekap
bola, ia berlari ke arah pagar. Tapi kemudian Iman berhenti dan membalikkan
tubuhnya.
“Bu, Ibu yang punya rumah ini ya,
Bu?” Tanya Iman kepada Mbak Asih, yang ditanya hanya tersenyum sambil menjawab,
“Bukan, saya Asih, pengasuhnya Doni.”
***
Doni? Aku tidak pernah mendengar
namanya. Apa yang dimaksud Mbak Asih itu anak laki-laki yang tadi kulihat ya.
Sambil berjalan meninggalkan rumah Pak Sastro sesekali aku menoleh ke arah
jendela lantai dua rumahnya. Jendela itu kembali terbuka, tapi anak laki-laki
itu tidak terlihat lagi.
***
“Ah bohong kamu, Man. Mana, kok
aku nggak lihat.” Ujar Adi pada Iman, yang diamini oleh teman-temannya yang
lain. Pasalnya Iman baru saja cerita, ia melihat seorang anak laki-laki
mengintip mereka , yang sedang bermain bola, dari jendela lantai dua rumah Pak
Sastro yang terbuka.
“Nggak kok, aku nggak bohong. Aku
lihat sendiri. Ia melihat kita dari jendela itu. Anak yang aku ceritakan itu
lho. Namanya Doni.” Ujar Iman membela diri.
“Ya tapi kalaupun benar anak itu
tinggal di rumah Pak Sastro, dia anak Pak Sastro dong berarti? Huh, sombongnya,
mentang-mentang anak orang kaya, nggak mau main sama kita-kita. Kamu sendiri cerita
kan, pas kamu ambil bola ke rumah dia, dia bahkan nggak turun nyamperin kamu,
malah lihat dari jendela terus jendelanya ditutup. Huh Sombong!” Tono mendengus
sebal, lagi-lagi diamini teman-teman yang lain.
Iman terdiam.
***
Aku mengintip dari balik pohon
mangga besar di depan lapangan bola kelurahan. Di sana, di depan pagar rumah
Pak Sastro, Mbak Asih sedang duduk menunggu pesanan bakso Pak Mamat yang enak itu.
Pak Mamat sendiri sedang sibuk meracik bahan dan bumbu bakso ke dalam mangkok.
“Mbak Asih...”
Aku menghampiri Mbak Asih. Mbak Asih cukup terkejut melihatku. Mungkin karena
baru kali ini aku datang dan menyapanya.
“Eh, kamu Iman
ya? Beli bakso, Man?” Aku mengangguk.
“ Doni mana
Mbak?” Tanyaku sambil berusaha menengok ke dalam. Eh, aku melihat sosok Doni
sedang duduk diam di teras, tapi kok...
“Kamu kenapa kok
tumben nanya Doni?” Aku mengalihkan pandangan dari halaman rumah Pak Sastro, Mbak
Asih menatapku dengan penasaran. Aku pun mengutarakan niatku.
Malam sebelumnya
aku mengobrol dengan Ibu. Aku bertanya mengapa rumah Pak Sastro dibiarkan
kosong. Ibu bilang, sebenarnya rumah itu tidak kosong. Rumah itu ada yang
menjaga, yaitu Mbak Asih. Orang-orang tidak terlalu peduli dengan rumah itu dan
penghuninya. Karena belum lama rumah itu dibeli Pak Sastro, Pak Sastro
ditinggal mati istrinya karena kecelakaan, beberapa waktu kemudian Pak Sastro
langsung pergi ke luar negeri, sehingga tetangga pun tidak akrab dengannya.
“Kenapa sih
Mbak, Doni nggak pernah main ke luar? Terus, mukanya kenapa selalu kelihatan
murung? Doni sering melamun ya?”
Ditanya begitu,
Mbak Asih kikuk menjawab apa, “Ya, dia hanya nggak punya keinginan main ke
luar, Man. Dia murung karena ingat terus sama ibunya, kangen sama ayahnya. Tapi
Pak Sastro memang sibuk, jadi beliau jarang pulang.”
“Masa sih nggak
ingin main di luar? Ayo dong Mbak, cerita saja. Aku janji, rahasia kok. Aku
ingin main sama Doni.” Ujarku dengan tampang memelas, tapi aku sungguh-sungguh
ingin berkenalan dengan Doni, aku yakin dia bukan anak yang sombong. Melihat
sorot matanya, aku rasa dia kesepian.
Mbak Asih
nampaknya akhirnya pasrah dengan bujukanku. Lagi pula, dia pasti tidak tega Doni
bermain sendiri terus. Dari Mbak Asih, aku tahu bahwa istri Pak Sastro
meninggal karena kecelakaan, saat itu mereka bertiga sedang berlibur merayakan ulang
tahun Doni yang ke 7. Mobil yang mereka tumpangi ditabrak truk pembawa paket di
tol Jagorawi, istri Pak Satro meninggal di tempat, beruntunglah Pak Sastro dan
Doni selamat. Sejak itulah Doni murung dan menutup diri.
“Terus, Doni
sekolahnya di mana Mbak Asih? Nggak pernah main di luar, tapi kok aku nggak
pernah lihat dia pergi sekolah?”
Mbak Asih kaget
atas pertanyaanku, dengan cepat ia menjawab bahwa Doni homeschooling. Bertepatan dengan itu, Pak Mamat menyerahkan dua
mangkuk bakso pesanan Mbak Asih, “Man, Mbak buru-buru, Doni harus makan,
ngobrolnya nanti lagi ya.”, Mbak Asih terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Aku
menegadahkan kepala, ke arah jendela yang terbuka. Kulihat Doni sedang
menatapku. Aku melambaikan tangan dan berteriak “Hai Doni! Aku Iman.” Ia
tersenyum, kemudian jendela lagi-lagi ditutup, meninggalkan aku yang termangu
memikirkan suatu cara. Cara untuk mengajak Doni bermain.
***
Ting tong..
Mbak Asih sedang ke pasar. Mau
tak mau aku lah yang harus membuka pintu. Huh. Lagi pula siapa sih yang bertamu
hari Minggu pagi begini.
Aku memutar kursi rodaku ke arah
pintu. Kuputar kunci dan knopnya. Olala! Di depanku sekarang berdiri seorang
anak laki-laki sebaya denganku dengan tas kresek besar berisi buku cerita,
mobil-mobilan, play station, dan entah, sepertinya masih banyak lagi.
***
Iman cengar-cengir saat yang
punya rumah membukakan pintu. Ada rasa simpati saat ia melihat Doni dengan
kondisinya sekarang. Benar dugaannya, Doni tidak pernah keluar rumah karena
lumpuh akibat kecelakaan empat tahun lalu sehingga harus memakai kursi roda.
Jelas saja Doni homeschooling dan tidak pernah main dengan teman-temannya yang lain, mungkin Doni
malu. Karena itulah ia sengaja membawa mainan-mainannya ke rumah Doni. Supaya
Doni punya teman. Lagi pula dari cerita Mbak Asih tempo hari, Doni anak yang
baik, sayangnya dia tertutup karena kesepian.
“Hei Don, terima kasih ya sudah
menyelamatkan aku dari Peter kemarin hari. Aku bawa mainan banyak nih. Main
bareng yuk!”
Senyum Doni pun terkembang.