Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Saya suka melakukan hal-hal yang menurut saya menarik dan orang-orang sulit melakukannya :) Saya suka bercerita tentang apa yang terjadi hari ini dan mendengarkan cerita teman-teman tentang betapa rumitnya hidup :P Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang saya sayangi :* Sangat susah bagi saya untuk memilih, meskipun saya sudah menentukan prioritas. Seorang sanguinis- koleris yang perfeksionis namun berusaha untuk tidak terlalu idealis. Haha.

Senin, 04 Maret 2013

Demi Pesan Terakhir Ibu


Di sinilah aku duduk sekarang. Kantor yang terasa asing dengan hembusan kencang AC. Dingin. Sedingin tanganku mungkin, atau lebih dingin. Jantungku berdegup keras dan cepat. Aku menggigit-gigit bibir, ragu, nervous, campur aduk.

“Mbak Ratri,”

“Ya..”

“Mbak ditunggu Bapak di dalam. Silakan masuk Mbak, lewat sini.”

Aku berjalan menyusuri lorong menuju ruangan Pak Rahmat Harsodjo. Ruangannya terletak di pojok lorong, sunyi, sepi. Pintu dengan gantungan tulisan namanya malah membuatku ciut untuk mengetuk meminta masuk. Aku tergugu di depan pintu. Kalut, gamang.

“Ratri, kenapa diam? Masuklah.” Terdengar suara dari dalam, seakan tahu aku yang ada di luar.

Dengan berat aku melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Isinya sudah ku duga, sama sekali tidak ingin kulihat. Foto keluarga ukuran besar terpasang di dinding, foto lainnya di meja pojok ruangan, di meja kerja. Aku yakin foto-foto itu usianya tak lebih dari lima belas tahun. Kalau lebih dari itu harusnya di foto itu ada wajah yang akrab di mataku, wajah yang aku rindukan.

“Waktu berjalan begitu cepat Ratri. Dua puluh delapan tahun umurmu, lima belas tahun aku pergi, dan aku terlambat kembali. Tapi seperti yang kita bicarakan di pemakaman kemarin, rencana ini akan tetap berjalan. Maafku tulus, Ratri. Aku menyayangimu. Aku meminta maaf karena selama ini aku tak ada untukmu. Izinkan aku menebusnya selama sisa hidupku.”

Aku menyayangimu, dan ibu jauh lebih menyayangimu. Aku tahu maafmu tulus, tapi sesungguhnya luka ini belum kering.

“Kamu tahu, aku tidak mungkin meminta Ken. “

Tentu saja aku tahu, karena Ken anakmu dari Astrid masih 13 tahun umurnya.

“Kamu lah yang aku banggakan, Ratri. Aku mau kamu, kamu yang mempimpin perusahaan ini. Kamu cantik, cerdas. Kamu kuat. Kamu unggul, Ratri. Maya, ibumu, mendidikmu dengan sempurna.”

Sempurna? Lalu kenapa kau tinggalkan?

“Ayahmu ini sudah tua, Ratri. Aku bahagia kamu mau kembali, aku bahagia kamu masih peduli pada ayahmu yang payah ini.”

Aku, Ratri Harsodjo, kembali bukan karena kau, Ayah, meski aku menyayangimu. Bukan karena kau tapi demi pesan terakhir almarhumah Ibu, yang memintaku untuk memaafkan Ayah dan mau hidup bersama keluarga baru Ayah, tante Astrid dan Ken. Sejujurnya aku mengorbankan perasaanku.

Minggu depan, saat aku mulai menempati ruangan ini, barang-barang yang akan aku singkirkan pertama kali adalah foto keluarga baru Ayah. Semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar