Di sinilah aku duduk sekarang.
Kantor yang terasa asing dengan hembusan kencang AC. Dingin. Sedingin tanganku mungkin,
atau lebih dingin. Jantungku berdegup keras dan cepat. Aku menggigit-gigit
bibir, ragu, nervous, campur aduk.
“Mbak Ratri,”
“Ya..”
“Mbak ditunggu Bapak di dalam.
Silakan masuk Mbak, lewat sini.”
Aku berjalan menyusuri lorong
menuju ruangan Pak Rahmat Harsodjo. Ruangannya terletak di pojok lorong, sunyi,
sepi. Pintu dengan gantungan tulisan namanya malah membuatku ciut untuk
mengetuk meminta masuk. Aku tergugu di depan pintu. Kalut, gamang.
“Ratri, kenapa diam? Masuklah.”
Terdengar suara dari dalam, seakan tahu aku yang ada di luar.
Dengan berat aku melangkahkan
kaki ke dalam ruangan. Isinya sudah ku duga, sama sekali tidak ingin kulihat.
Foto keluarga ukuran besar terpasang di dinding, foto lainnya di meja pojok
ruangan, di meja kerja. Aku yakin foto-foto itu usianya tak lebih dari lima
belas tahun. Kalau lebih dari itu harusnya di foto itu ada wajah yang akrab di
mataku, wajah yang aku rindukan.
“Waktu berjalan begitu cepat
Ratri. Dua puluh delapan tahun umurmu, lima belas tahun aku pergi, dan aku terlambat kembali.
Tapi seperti yang kita bicarakan di pemakaman kemarin, rencana ini akan tetap
berjalan. Maafku tulus, Ratri. Aku menyayangimu. Aku meminta maaf karena selama
ini aku tak ada untukmu. Izinkan aku menebusnya selama sisa hidupku.”
Aku menyayangimu, dan ibu jauh lebih menyayangimu. Aku tahu maafmu
tulus, tapi sesungguhnya luka ini belum kering.
“Kamu tahu, aku tidak mungkin
meminta Ken. “
Tentu saja aku tahu, karena Ken anakmu dari Astrid masih 13 tahun
umurnya.
“Kamu lah yang aku banggakan,
Ratri. Aku mau kamu, kamu yang mempimpin perusahaan ini. Kamu cantik, cerdas. Kamu
kuat. Kamu unggul, Ratri. Maya, ibumu, mendidikmu dengan sempurna.”
Sempurna? Lalu kenapa kau tinggalkan?
“Ayahmu ini sudah tua, Ratri. Aku
bahagia kamu mau kembali, aku bahagia kamu masih peduli pada ayahmu yang payah ini.”
Aku, Ratri Harsodjo, kembali bukan
karena kau, Ayah, meski aku menyayangimu. Bukan karena kau tapi demi pesan
terakhir almarhumah Ibu, yang memintaku untuk memaafkan Ayah dan mau hidup
bersama keluarga baru Ayah, tante Astrid dan Ken. Sejujurnya aku mengorbankan
perasaanku.
Minggu depan, saat aku mulai menempati ruangan ini, barang-barang yang akan aku singkirkan pertama kali adalah foto keluarga baru Ayah. Semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar