7 September 2012,
Pukul 7 sekian malam, tempat tambal ban di ujung Jalan Ganesha...
“Kamu
pernah nggak Dys, sedih karena kehilangan orang yang disayang?”
“Disayang?”
“Iya,
orang yang kamu sayang. Tapi bukan ayah, ibu, keluarga gitu. Yang lain, yang
kamu sayang..”
Percakapannya
kurang lebih seperti itu. Adegan setelah itu? Diem. Nggak aku jawab. Hehe
Bukan karena aku
nggak mau jawab, bukan karena ada yang ditutup-tutupi. Tapi karena aku bukannya
mencari jawaban, malah seakan-akan terhisap ke mesin waktu, terbawa ke masa
lalu di mana memori menari-nari di pikiranku, dan... aku bingung
mengutarakannya gimana.
Pernahkah
kamu kehilangan orang yang kamu sayang terus kamu sedih karena itu?
Pernah?
Pernah nggak?
Dijawab
nih?
Pernah.
Dan itu sakit.
Awalnya aku kira,
jalan yang kutempuh sudah benar, pilihan yang aku ambil sudah tepat. Sering kali
aku berpikir, dia memang benar-benar orangnya. Kami melalui hari dengan indah,
saling dukung, saling support dan saling percaya. Kami beradu pendapat, berbagi
pikiran serius, bekerjasama saling bantu tugas. Tapi memang ada satu hal yang
belum kami putuskan, keseriusan kemana ini berjalan, kejelasan, komitmen.
Kenapa? Karena aku
merasa itu nggak perlu. Mungkin dia juga. Aku merasa status hanya pajangan,
hanya untuk anak-anak yang baru belajar dan mau pamer. Orang dewasa nggak
perlu, cukup kata “Ya” yang dibuktikan dengan sikap. Orang lain nggak perlu tau
semuanya, nggak penting.
Beberapa teman
bilang, kami bertolak belakang. Kami sangat berbeda. Kami dua sisi koin yang tidak
akan bertemu, kami dua mata pedang yang akan saling melukai. Caraku hidup,
caranya hidup. Pandanganku, pandangannya. Caraku bergaul, caranya bergaul.
Memang jauh dari kata sama, jauh dari kata cocok. Tapi bukannya dengan adanya
perbedaan akan saling melengkapi? Jalan teruuus.....
Sebulan, dua bulan, empat bulan,
enam bulan.....
Kemudian ada hal yang tiba-tiba
merubah pandanganku, memunculkan pikiran Jadi
selama ini apa?. Kemudian semuanya berubah 180o. Dan aku cuma
bisa bilang Now you’re just somebody that
I used to know..
Saat orang yang kita kira akan
menjadi segalanya di kehidupan kita tiba-tiba
berbalik arah pergi hanya karena nggak terima kekurangan kita, saat
itulah kita merasa sangat sakit. Saat itulah aku merasa kehilangan orang yang
aku sayang dan sedih karena itu.
Haruskah diri kita sempurna untuk
bersama seseorang yang kita harapkan kelak akan jadi matahari kita? Apakah dibenarkan kalau kita ditinggalkan dan
dihindari karena kekurangan kita? Bukankah itu namanya nggak menerima sepenuh
hati? Bukankah kekurangan masing-masing ada untuk dilengkapi satu sama lain?
Untuk diterima sebagai penguat satu sama lain? Mengapa kekurangan harus
dipandang sebagai satu masalah yang nggak bisa ditolerir keberadaannya dan jadi
alasan untuk bilang I’m not into you?
“Aku sakit, skoliosis, tulang belakangku nggak normal.
Minggu depan, aku terapi.” – dan itu
mengubah segalanya
You
leave because you don’t want to face it? We end up in this way? Why don’t we
fight for ‘it’ together? - Saat itu cuma itu yang aku pikirkan
Sedih boleh. Sakit
boleh. Kecewa boleh. Tapi untuk benci, menutup diri dan menyalahkan Allah atas
kekurangan yang Dia berikan, itu bukan caraku untuk merefleksi diri. Lagian
sebenernya aku nggak bener-bener kehilangan kan, aku nggak pernah memilikinya, dia
punya Allah. Allah bilang “Orang ini
bukan Aku buat untuk dipasangin sama kamu, buat kamu nanti ada yang lebih baik
dari orang ini.”. Ini mungkin pelajaran, Allah nunjukkin bahwa ada lho yang nggak mau nerima kekurangan
orang lain sampai segitunya. Tapi bukan salah dia, ini skenario Allah untuk bikin bahan belajar buat aku
supaya lebih bijak dalam menjalankan hidup. Nggak ada yang sempurna di dunia
ini. Orang yang mengejar kesempurnaan fisik, materi, duniawi, nggak akan pernah
puas.
Dan sekarang,
Alhamdulillah jangankan sedih, benci sama dia, nginget pernah ‘kehilangan’ dia pun
aku udah nggak pernah. Yang dulu cukup diambil hikmahnya aja, bukan untuk jadi
penyesalan seumur hidup, cukup jadi pelajaran aja untuk apa yang dijalanin
sekarang. Karena aku yang sekarang, menjalani yang sekarang sama orang yang
sekarang aku mengakui kalau aku lebih bahagia, aku nggak mau menyia-yiakan,
aku mau terima apa adanya dengan ikhlas. Dan mudah-mudahan Allah punya rencana
yang paling indah buat hambaNya yang ikhlas dan sabar. Insya Allah. Bismillah.
ps: ditulis oleh si nona yang duduk di belakang meja kerja, menunggu waktu pulang :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar