Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Saya suka melakukan hal-hal yang menurut saya menarik dan orang-orang sulit melakukannya :) Saya suka bercerita tentang apa yang terjadi hari ini dan mendengarkan cerita teman-teman tentang betapa rumitnya hidup :P Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang saya sayangi :* Sangat susah bagi saya untuk memilih, meskipun saya sudah menentukan prioritas. Seorang sanguinis- koleris yang perfeksionis namun berusaha untuk tidak terlalu idealis. Haha.

Selasa, 11 September 2012

Pernahkah?

7 September 2012, Pukul 7 sekian malam, tempat tambal ban di ujung Jalan Ganesha...

“Kamu pernah nggak Dys, sedih karena kehilangan orang yang disayang?”
“Disayang?”
“Iya, orang yang kamu sayang. Tapi bukan ayah, ibu, keluarga gitu. Yang lain, yang kamu sayang..”

Percakapannya kurang lebih seperti itu. Adegan setelah itu? Diem. Nggak aku jawab. Hehe

Bukan karena aku nggak mau jawab, bukan karena ada yang ditutup-tutupi. Tapi karena aku bukannya mencari jawaban, malah seakan-akan terhisap ke mesin waktu, terbawa ke masa lalu di mana memori menari-nari di pikiranku, dan... aku bingung mengutarakannya gimana.

Pernahkah kamu kehilangan orang yang kamu sayang terus kamu sedih karena itu?

Pernah? Pernah nggak?

Dijawab nih?

Pernah. Dan itu sakit.

Awalnya aku kira, jalan yang kutempuh sudah benar, pilihan yang aku ambil sudah tepat. Sering kali aku berpikir, dia memang benar-benar orangnya. Kami melalui hari dengan indah, saling dukung, saling support dan saling percaya. Kami beradu pendapat, berbagi pikiran serius, bekerjasama saling bantu tugas. Tapi memang ada satu hal yang belum kami putuskan, keseriusan kemana ini berjalan, kejelasan, komitmen.

Kenapa? Karena aku merasa itu nggak perlu. Mungkin dia juga. Aku merasa status hanya pajangan, hanya untuk anak-anak yang baru belajar dan mau pamer. Orang dewasa nggak perlu, cukup kata “Ya” yang dibuktikan dengan sikap. Orang lain nggak perlu tau semuanya, nggak penting.

Beberapa teman bilang, kami bertolak belakang. Kami sangat berbeda. Kami dua sisi koin yang tidak akan bertemu, kami dua mata pedang yang akan saling melukai. Caraku hidup, caranya hidup. Pandanganku, pandangannya. Caraku bergaul, caranya bergaul. Memang jauh dari kata sama, jauh dari kata cocok. Tapi bukannya dengan adanya perbedaan akan saling melengkapi? Jalan teruuus.....

Sebulan, dua bulan, empat bulan, enam bulan.....

Kemudian ada hal yang tiba-tiba merubah pandanganku, memunculkan pikiran Jadi selama ini apa?. Kemudian semuanya berubah 180o. Dan aku cuma bisa bilang Now you’re just somebody that I used to know..
Saat orang yang kita kira akan menjadi segalanya di kehidupan kita tiba-tiba  berbalik arah pergi hanya karena nggak terima kekurangan kita, saat itulah kita merasa sangat sakit. Saat itulah aku merasa kehilangan orang yang aku sayang dan sedih karena itu.

Haruskah diri kita sempurna untuk bersama seseorang yang kita harapkan kelak akan jadi matahari kita? Apakah dibenarkan kalau kita ditinggalkan dan dihindari karena kekurangan kita? Bukankah itu namanya nggak menerima sepenuh hati? Bukankah kekurangan masing-masing ada untuk dilengkapi satu sama lain? Untuk diterima sebagai penguat satu sama lain? Mengapa kekurangan harus dipandang sebagai satu masalah yang nggak bisa ditolerir keberadaannya dan jadi alasan untuk bilang I’m not into you?

“Aku sakit, skoliosis, tulang belakangku nggak normal. Minggu depan, aku terapi.” – dan itu mengubah segalanya

You leave because you don’t want to face it? We end up in this way? Why don’t we fight for ‘it’ together?  - Saat itu cuma itu yang aku pikirkan

Sedih boleh. Sakit boleh. Kecewa boleh. Tapi untuk benci, menutup diri dan menyalahkan Allah atas kekurangan yang Dia berikan, itu bukan caraku untuk merefleksi diri. Lagian sebenernya aku nggak bener-bener kehilangan kan, aku nggak pernah memilikinya, dia punya Allah. Allah bilang “Orang ini bukan Aku buat untuk dipasangin sama kamu, buat kamu nanti ada yang lebih baik dari orang ini.”. Ini mungkin pelajaran, Allah nunjukkin bahwa ada lho yang nggak mau nerima kekurangan orang lain sampai segitunya. Tapi bukan salah dia, ini skenario  Allah untuk bikin bahan belajar buat aku supaya lebih bijak dalam menjalankan hidup. Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Orang yang mengejar kesempurnaan fisik, materi, duniawi, nggak akan pernah puas.

Dan sekarang, Alhamdulillah jangankan sedih, benci sama dia, nginget pernah ‘kehilangan’ dia pun aku udah nggak pernah. Yang dulu cukup diambil hikmahnya aja, bukan untuk jadi penyesalan seumur hidup, cukup jadi pelajaran aja untuk apa yang dijalanin sekarang. Karena aku yang sekarang, menjalani yang sekarang sama orang yang sekarang aku mengakui kalau aku lebih bahagia, aku nggak mau menyia-yiakan, aku mau terima apa adanya dengan ikhlas. Dan mudah-mudahan Allah punya rencana yang paling indah buat hambaNya yang ikhlas dan sabar. Insya Allah. Bismillah.

ps: ditulis oleh si nona yang duduk di belakang meja kerja, menunggu waktu pulang :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar